Siaran Pers Sawit Watch Pelemahan FPIC
[Bogor, 25 Oktober 2024] Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) berperan penting dalam pemenuhan hak atas tanah dan sumber daya alam masyarakat yang kesulitan menghadapi kekuasaan perusahaan dengan sumber daya yang lebih besar dan kerap kali menggunakan taktik yang tidak adil dengan mekanisme rekayasa untuk merebut lahan. Lalu bagaimana prinsip ini diadopsi dalam standar sertifikasi seperti RSPO. Apakah berjalan dengan baik dan berguna bagi masyarakat?
Rahma (GEMAWAN) menyatakan, FPIC merupakan instrumen penting dalam melakukan sebuah bisnis karena sebagai bentuk penghargaan atas hak masyarakat.
“Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) adalah sebuah cara untuk menghormati masyarakat yang ada di lahan yang akan dibuka menjadi aktivitas industri, khususnya sawit. Sehingga FPIC menjadi komponen penting yang perlu diperhatikan. Melalui FPIC masyarakat berhak menentukan menyetujui atau tidak menyetujui sebuah industri masuk di wilayah mereka. Hasil riset kami di GEMAWAN menunjukkan bahwa penyebab banyaknya terjadi konflik sawit di Kalbar salah satunya dikarenakan tidak terimplementasikannya FPIC dengan baik. Ada yang hanya sebatas sosialisasi publik hingga ada pula yang tidak melakukan sama sekali. FPIC tidak dilihat sebagai sebuah kewajiban.” kata Rahma.
Pernyataan tersebut dikutip saat ia menjadi narasumber dalam Webinar “Pelemahan FPIC dalam Standar Sertifikasi Komoditas Sawit: Implikasi bagi Masyarakat dan Industri Sawit Indonesia” yang diinisiasi oleh Sawit Watch pada Selasa, 22 Oktober 2024 lalu. Dapat menyaksikan tayangan ulangnya melalui Youtube Sawit Watch Official.
Norman Jiwan (Lembaga Bentang Alam Hijau (LemBAH) menambahkan, bahwa pelaksanaan FPIC tidak semata-mata bergantung pada mekanisme sertifikasi. Artinya FPIC dapat sukses dilakukan walau bukan perusahaan tersebut bukan anggota RSPO.
“FPIC sebagai advokasi pemulihan, pengembalian dan penghormatan terhadap hak masyarakat. Implementasi FPIC bukan hanya dapat dilakukan oleh anggota RSPO melainkan perusahaan non RSPO juga, asal memiliki komitmen yang kuat. Salah satu contoh pelaksanaan yang mendekati ketentuan pemulihan hak masyarakat dalam proses resolusi konflik sebagaimana disyaratkan dalam FPIC, contohnya di Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Sambas. Bahwa perusahaan
secara sukarela melepaskan tanah dan hutan dalam wilayah adat masyarakat. Lalu ada juga upaya resolusi konflik dimana pihak perusahaan sukarela mengajukan permohonan revisi HGU yang mereka miliki. Kini terdapat sejumlah lahan telah berubah menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diserahkan dan menjadi milik masyarakat.
Atas dinamika yang terjadi dalam pembahasan Princip and Criteria (PnC) RSPO terbaru, terkait pelemahan FPIC itu seharusnya tidak terjadi, FPIC harus dipertahankan dan diperkuat bukan justru dilemahkan atau dihilangkan. FPIC haruslah progresif dalam implementasinya agar dapat meningkatkan standar keberlanjutan sawit di RSPO. Tantangan ke depan adalah bagaimana FPIC dapat diimplementasikan dengan baik,” ujar Norman.
Senada dengan hal tersebut, Mansuetus Darto (Dewan Nasional SPKS) mengatakan, “Jika ada pertanyaan, Apakah benar pelemahan FPIC itu terjadi dalam pembahasan PnC terbaru RSPO? Saya dapat katakan, Iya hal ini memang terjadi. Mengapa demikian? saya melihat bahwa hal ini disebabkan salah satunya karena banyak kasus perampasan lahan yang dilaporkan CSO atau masyarakat sipil dalam mekanisme pengaduan RSPO yang tidak mampu diselesaikan. Hal ini justru mengganggu kredibilitas perusahaan anggota RSPO itu sendiri. Sehingga FPIC sebagai dasar untuk menghalau proses perampasan lahan menjadi sasaran dilemahkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.” Walau sempat dilemahkan/dihilangkan prinsip FPIC muncul kembali dalam draft terakhir yang di unggah. Semoga benar draft terakhir ini lah yang akan disahkan dalam General Assembly RT RSPO 2024 nanti. Mari kita pantau bersama,” terang Darto.
Marcus Colchester (Senior Policy Advisor, Forest Peoples Programme) dalam kesempatan yang sama mengatakan, “Kami memiliki prinsip yang kuat untuk FPIC di RSPO, sejak tahun 2005, sebagaimana dinyatakan kembali dalam Prinsip dan Kriteria tahun 2018. FPIC digunakan untuk memastikan bahwa akuisisi lahan dapat terjadi secara adil untuk mencegah perampasan lahan. Dalam pengembangan draf konsultasi terbaru dari Prinsip dan Kriteria, FPIC dihapus sebagai persyaratan untuk perkebunan yang ada. Ini benar-benar mengejutkan kami. Pelemahan FPIC seperti itu akan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), Hukum Internasional, dan praktik terbaik industri dan akan menurunkan elemen utama standar RSPO yang telah kami miliki selama 19 tahun. Kabar baiknya adalah bahwa dalam proses revisi PnC terakhir, setelah memobilisasi dan menolak draf konsultasi yang menghapus FPIC, FPIC kini telah dimasukkan kembali dalam draf terbaru dan sejalan dengan standar tahun 2018” tambah Marcus
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch menambahkan, “Jika memang upaya pelemahan FPIC dalam pembahasan draft konsultasi PnC RSPO ini benar adanya, kami menekankan agar RSPO dapat mengambil langkah serius untuk mencari tahu siapa oknum personal atau bahkan kelompok tertentu yang melakukan agenda atau permainan seperti ini. Serta penting bagi RSPO untuk dapat memberikan tindakan tegas. Karena pada dasarnya, jika ini dibiarkan begitu saja maka akan dapat mencoreng citra dan kredibilitas baik RSPO yang ada selama ini. Penting bagi kita masyarakat sipil melakukan pemantauan bersama agar hal-hal serupa tidak terjadi dikemudian hari,” jelas Rambo.
# # #
Tentang Sawit Watch
Sawit Watch adalah sebuah organisasi non pemerintah di Indonesia yang didirikan sejak 1998 berbasis keanggotaan individu yang prihatin terhadap dampak-dampak negatif sistem perkebunan besar sawit. Anggota Sawit Watch tersebar di seluruh Indonesia dengan beragam latar belakang. Sawit Watch berfokus pada persoalan perkebunan sawit di Indonesia. Sawit Watch dibentuk dengan tujuan untuk mewujudkan perubahan sosial bagi petani buruh, dan masyarakat adat/lokal menuju keadilan ekologis.