Oleh: Perkumpulan Sawit Watch
Dengan mengurangi harga dasar sumber daya alam dibawah dari harga terendah kepada masyarakat, subsidi bisa mengakibatkan dampak yang cukup luas (positif maupun negatif) dalam pola investasi maupun konsumsi. Subsidi dapat mempercepat degradasi lingkungan melalui ketidakefisiensian pemanfaatan sumber daya, penggunaan yang berlebihan, konsumsi berlebih, dan menghilangkan Negara dari pengelolaan sumber daya secara keberlanjutan.
Pendahuluan
Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang peningkatan penggunaan bahan bakar nabati berbasis campuran minyak sawit sebesar 15% atau 20 % , yang lebih dikenal dengan B15 atau B20 akan menimbulkan implikasi berupa peningkatan permintaan CPO (
crude palm oil) nasional untuk konsumsi BBN (bahan bakar nabati) domestik. Normalnya, pemenuhan jumlah BBN dari kebijakan B15 akan bergantung sangat besar pada dialokasikannya sejumlah produksi CPO nasional untuk proses produksi BBN, yang mempertimbangkan juga jumlah ketersediaan pasokan bagi kebutuhan domestik dan memenuhi permintaan ekspor dari pasar global.
Dengan total luasan lahan perkebunan kelapa sawit yang mencapai 13,5 juta Ha (Sawit Watch, 2014) Indonesia menempati posisi sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia. Total produksi pada tahun 2014 mencapai 31 Juta ton dimana 8 Juta ton diantaranya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, dan sisanya sekitar 23 Juta ton di ekspor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai kumulatif ekspor non-migas pada periode Januari-November 2014 mencapai US$133,69 miliar atau turun 1,95% dari 2013. Sebanyak US$19,35 miliar diantaranya merupakan ekspor CPO beserta turunannya.
Menurut data GAPKI (2014)
proyeksi peningkatan kebutuhan akan minyak sawit terutama pada biodiesel pada tahun 2015 mencapai 4.262 juta ton dan pada tahun 2016 akan bertambah lebih dari dua kali lipat mencapai 8.856 juta ton.
Tabel Proyeksi Volume Konsumsi Biodiesel Domestik
Tahun |
Biodiesel |
Tahun |
Biodiesel |
2013 |
1,500,000.00 |
2020 |
10,188,000.00 |
2014 |
2,500,000.00 |
2025 |
20,649,792.00 |
2015 |
4,262,000.00 |
2030 |
26,847,857.00 |
2016 |
8,856,000.00 |
2035 |
30,095,952.00 |
2017 |
9,190,000.00 |
2040 |
33,344,048.00 |
2018 |
9,522,000.00 |
2045 |
36,592,143.00 |
2019 |
9,856,000.00 |
2050 |
39,840,238.00 |
Total |
243,244,030.00 |
Sumber: diolah dari GAPKI 2014
Data di atas menunjukkan tingginya kebutuhan biodiesel akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan tiap tahunnya dan ditambah lagi dengan kewajiban penggunaan campuran bahan bakar nabati yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu bentuk dari diversifikasi energi, pengurangan impor bahan bakar berbasis minyak bumi, serta dalam jangka panjang sebagai langkah menuju kemandirian dan kedaulatan energi nasional. Salah satu sumber bahan bakar nabati yang dinilai cukup siap oleh pemerintah untuk dikembangkan dengan tingkat ketersediaan yang memadai berasal dari minyak sawit.
Peningkatan produksi minyak sawit membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga akan menciptakan lapangan kerja baru bagi setidaknya dua juta orang buruh langsung,
terutama dalam hal peningkatan produksi minyak sawit melalui perluasan areal perkebunan. Maka, perlu ditelisik lebih jauh lapangan kerja yang tersedia ini merupakan bentuk dari manifestasi hilangnya lahan tempat mereka berusaha sebelumnya, seperti hutan, lahan gambut, perladangan, dan lahan pertanian. Setelah lahan maupun hutan tempat mereka menggantungkan hidup tergantikan dengan perkebunan sawit, maka pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi semakin terbatas, sehingga pilihan yang tersedia hanya menjadi buruh dengan kehidupan dan upah yang kurang layak. Tekanan untuk mencapai target produksi yang tinggi tidak dibarengi dengan upah dan penghidupan yang layak bagi para buruh.
Selain dampak terhadap buruh dan tenaga kerja, masyarakat adat dan masyarakat lokal juga merupakan pihak yang akan terkena dampak paling signifikan, terutama terkait dengan konflik tenurial. Sawit watch pada tahun 2014 mencatat lebih dari 776 konflik terjadi akibat operasional perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan komunitas masyarakat. konflik ini terutama dipicu oleh proses awal pelepasan lahan yang tidak transparan, skema kemitraan yang tidak adil, sistem kontrak dan pembebanan kerja pada buruh yang tidak disertai dengan kesejahteraan yang cukup dan perlindungan terhadap aspek jaminan dan keselamatan kerja.
Selain itu, petani sawit, baik dalam skema kerjasama dan kemitraan dengan perusahaan maupun petani mandiri akan semakin tertinggal karena tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan skala besar. Hal ini terkait dengan keterbatasan modal, teknologi dan akses pasar karena komoditas ini memerlukan jumlah uang investasi besar.
Pertumbuhan yang lemah dari para petani ini salah satunya akibat produktivitas petani sawit di Indonesia yang lebih rendah 17% jika dibandingkan dengan perusahaan sawit milik swasta ataupun Negara. Rendahnya produktivitas dari petani kecil ini harus menjadi perhatian tersendiri dari pemerintah, untuk mendorong petani agar mampu meningkatkan produktivitasnya melalui skema revitalisasi perkebunan yang sesungguhnya, dengan penyediaan modal, asistensi dan peningkatan kapasitas, serta jaminan harga pasar yang stabil.
Subsidi berdasarkan Skema Crude Palm Oil Support Fund
Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan kebijakan dukungan pendanaan kewajiban pemanfaatan campuran bahan bakar nabati sebesar 15% atau yang lebih dikenal sebagai B15. Melalui skema pendanaan ini, Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) yang berada dibawah koordinasi Kementerian Keuangan menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lainnya yang sah. Pungutan dana tersebut adalah sebesar USD 50 per ton dari kegiatan ekspor CPO diatas atau sama dengan USD 750 per metrik ton, untuk ekspor dibawah USD 750 per metrik ton dibebaskan dari bea keluar.
Berdasarkan Peraturan Presiden tersebut, dana yang dihimpun itu akan dialokasikan bagi kepentingan pengembangan industri kelapa sawit dari hulu ke hilir. Pengembangan SDM Perkebunan Kelapa Sawit, Penelitian dan Pengembangan Kelapa Sawit, Promosi Perkebunan Kelapa Sawit, Peremajaan Perkebunana Kelapa Sawit, Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit, serta dana pendukung Badan Usaha Bahan Bakar Nabati untuk menutupi selisih harga atau selisih pergerakan harga subsidi solar. Saat ini Komisi VII DPR telah menetapkan subsidi untuk bahan bakar biodiesel sebesar Rp 4,000,- untuk Produsen Biodiesel.
Dana sektor hilir diperuntukkan bagi produsen biodiesel untuk menutupi selisih harga atau selisih pergerakan harga dengan harga subsisi solar. Untuk sektor hulu, bagi petani sendiri kebijakan CSF ini masih dianggap merugikan, karena dinilai mampu mengganggu stabilitas harga di level petani dan menyudutkan usaha perkebunan rakyat.
Namun tidak hanya bagi petani sawit, mekanisme CSF ini dikhawatirkan juga akan memberikan dampak negatif bagi perusahaan pekebun kelapa sawit, dimana tidak semua perusahaan perkebunan kelapa sawit akan menerima kucuran dana ini, namun disisi lain akan tetap dibebani dengan kewajiban pemotongan dari besaran nilai ekspor minyak sawitnya.
Sumber Alternatif Bahan Bakar Nabati Selain Sawit
Sumber bahan bakar nabati tidak hanya melulu dari Kelapa Sawit, namun masih ada sumber bahan bakar nabati lain yang dapat dikembangkan untuk menjadi salah satu bentuk energi alternatif. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama dengan Kementerian Pertanian, misalnya, telah memperkenalkan kemiri sunan sebagai salah satu alternatif dari sumber bahan bakar nabati selain sawit dan tanaman jarak.
Kemiri sunan memiliki habitus dengan tajuk rindang, batang yang kokoh, dan sistem perakaran yang dalam, selain itu tanaman ini memiliki akar yang kuat menahan benturan air hujan sehingga dapat mencegah erosi.
Selain kemiri sunan, terdapat jenis tanaman lainnya yang merupakan tanaman penghasil BBN untuk biodiesel, yakni tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum).
Melihat adanya dua potensi tanaman penghasil BBN (belum lagi potensi tanaman lainnya), maka pemanfaatan kedua tanaman yang lebih ramah lingkungan dibandingkan kelapa sawit patut didorong untuk pemenuhan produksi BBN. Kenyataan ini juga secara tidak langsung menunjukan bahwa pemenuhan bahan baku untuk produksi BBN diesel tergantung sepenuhnya pada minyak sawit, dimana dalam kerangka pemenuhan permintaan stok bahan bakunya lebih cenderung melalui cara ekstensifikasi atau perluasan perkebunan sawit yang pada giliriannya akan memicu munculnya konflik baru, baik dalam aspek sosial maupun lingkungan.
Masalah lainnya dalam proses pelaksanaan pemanfaatan bahan bakar nabati adalah infrastruktur yang belum memadai, khususnya di daerah timur Indonesia yang masih terkendala yaitu dalam hal pencampuran dan penyaluran. Untuk kendala logistik telah diatasi dengan sistem semi Free On Board (FOB), di mana produsen hanya perlu mengantarkan sampai lima pelabuhan yang ditentukan oleh Pertamina. Namun pelaksanaan rencana ini juga masih tersendat dengan persiapan teknis di Pertamina dalam mempersiapkan infrastruktur terutama pelabuhan. Sehingga perlu adanya pengecekan secara rutin fasilitas di pelabuhan apakah sudah memenuhi standar.
Peran DPR dalam hal ini terkait dengan fungsi pengawasan, terutama untuk memastikan penggunaan dan pengalokasian dana dari CSF dibawah Badan Layanan Umum yang bertugas menghimpun dana dan mendistribusikan dana tersebut kepada para penerima dana sesuai dengan Perpres No 61 tahun 2015. Namun sampai saat ini masih belum dipastikan berapa alokasi dana yang akan diberikan kepada sektor hilir dan hulu, serta siapa saja pihak yang akan menerima kucuran dana tersebut. Memastikan proses pengumpulan dana serta pendistribusian sesuai dengan kepentingan pengalokasiannya, tepat sasaran dan efektif, merupakan hal yang sangat penting. Hal ini untuk mencegah terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan.
Selain itu, proses evaluasi secara berkala berkaitan dengan efektifitas dalam proses implementasi dari kebijakan terkait dengan kewajiban penggunaan biodiesel sebesar 15% ini harus mendapatkan perhatian khusus, sehingga target dan cita-cita kemandirian dan kedaulatan energi yang berkesinambungan dan berkelanjutan dapat terwujud.
Kerangka Aturan dan Turunan Kebijakan: