Telp.+6251-8352171
info@sawitwatch.or.id
Potret Buruh Perempuan Perkebunan Kelapa Sawit
Home » Sawit’s Update | Our Forus  »  Potret Buruh Perempuan Perkebunan Kelapa Sawit
Potret Buruh Perempuan Perkebunan Kelapa Sawit

Dampak sosial dan ekonomi dari sistem perkebunan sawit skala besar (PBS) terhadap buruh perempuan di Kalimantan Tengah dan bentuk pelanggaran ketenagakerjaan, hak dan kewajiban pekerja,serta kebebasan berserikat dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial (UU 13/2003, UU 21/2000). Di UU 13/2003 tidak adanya perbedaan hak atas upah antara perempuaan dan laki-laki atas upah layak, waktu kerja, status kerja, cuti, PHK dan pesangon,jaminan kesehatan, fasilitas umum serta mogok kerja. Namun masih massif pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di perkebunan  sawit skala besar, lemahnya monitoring serta fungsi kontrol oleh pemerintah khususnya ketenagakerjaan dan pengawas ketenagakerjaan telah dimanfaatkan sepenuhnya oleh PBS untuk melakukan eksploitasi terhadap pekerja.

Buruh perempuan di posisikan di bagian-bagian rawan dan seringkali mengalami kecelakaan kerja atas penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya di perkebunan. Tuntutan hidup dalam pemenuhan kebutuhan keluarga serta tingginya biaya pendidikan anak-anak buruh, juga menjadi salah satu alasan mengapa kaum perempuaan banyak menjadi buruh di perkebunan sawit. Seperti foto di atas salah seoramg buruh kebun perempuaan migran yang berasal dari pulau Jawa, rela menitipkan anaknya sejak usia 3 bulan di TPA (tempat penitipan anak) demi membantu sang suami untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Memang tak perlu banyak skill dalam pekerjaan ini cukup siapkan fisik dan tenaga yg ekstra untuk dapat mengerjakan pekerjaan ini. Kadang tumpukan jangkos(janjang kosong) yang mereka bawa mengunakan Arko hampir menutupi separuh badan mereka, mereka menghamparnya sesuai intruksi atasan disebar dan disusun di beberapa batas pokok sawit. Kadang mereka tak menghiraukan lagi jam kerja demi target yang telah ditentukan oleh manajemen. Untuk mencapai/mendapat kan upah 1 harian kerja/HK (Rp 119.000) para pekerja ini diwajibkan menghabiskan 1 tumpuk jangkos yang kurang lebih 8-10 ton dalam 1 tumpukan. Jika tidak dapat menyelesaikan atau hanya setengah tumpuk saja maka upah mereka hari itu 0.5 HK saja ( Rp.59.500) walau jam kerja mereka di atas 7 jam kerja, karena medan yang susah menjadi salah satu alasan mengapa pekerjaan yang ditarget tidak terselesaikan. Pekerja buruh migran ini berasal dari NTT, dengan alasan yang tidak beda jauh dari pekerja perempuan lainnya, ibu ini menghabiskan waktu nya untuk mencari tambahan buat biaya sekolah anak, susu anak karena anak masih kecil dan harus dititip di TPA juga sedikit menabung untuk masa depan keluarga dan pengen punya rumah dan tanah sendiri dan tidak akan hidup selamanya ikut perusahaan. Walau pekerjaan ini berisiko tinggi apalagi bahan yang digunakan adalah kimia, sementara ketika sampai rumah dia harus menjemput anak dari TPA dan memasak buat suami dan anak-anaknya. Pekerjaan ini sendiri butuh pengetahuaan dan skill serta pelatihan karena memang bahan berbahaya yang mereka sentuh setiap hari, mereka juga harus paham dosis (takaran pupuk) per pokok/per hektarnya. Sistem pengupahannya pun tidak mengunakan satuan hasil namun mengunakan satuan hasil/target bergantung dosis yang di gunakan. Jika dosis yang di gunakan dalam bungkusan (untilan) besar maka kecil lah harga pupuk itu dalam 1 hektar nya, dan semakin kecil jumlah dosis yang di gunakan maka semakin besar upah yang mereka dapatkan. Untuk mencapai upah 1 harian kerja/HK Rp.119.000 pekerja ini harus menebar pupuk sebanyak 4 hektar dengan dosis 0.35 kg/pokok sawit dgn harga Rp.32.000 per hektar. Sementara kalau dengan dosis besar 3 kg/pokok sawit mereka hanya menebar 2 hektar karena harga dosis besar dalam 1 hektarnya Rp.52.000. Dosis ini pun bervariasi disesuaikan tahun tanam dan kebutuhan pokok sawit itu sendiri. Pekerjaan ini tidak boleh tidak selesai apapun masalahnya ( hujan, kondisi jalan yang rusak sehingga pupuk gak dapat dilangsir, medan yang susah dan sebagainya diabaikan) sehingga waktu tidak lagi dijadikan hitungan walau melebihi jam kerja. Dengan jam kerja yang panjang, beban kerja yang berat serta tidak adanya perbedaan target antara buruh perempuaan dan laki-laki juga menjadi salah satu beban berat yang dialami buruh perempuaan perkebunan sawit sehingga mengurangi waktu istirahat serta berkumpul dengan anak-anak mereka walau masih kecil. Beda hal dengan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh perempuaan migran asal Belu ini, dia bekerja seperti apa yang dikerjakan laki-laki, kerena desakan kebutuhan dan ingin menyekolahkan anak dan pengen memiliki tanah dan tempat tinggal di kampung halamannya, ibu ini harus bekerja walau sang suami juga bekerja sebagai pemanen. Memang status ibu ini karyawan tetap namun ada beberapa hak dia sebagai perempuaan yang tidak didapatkannya, seperti hak cuti haid, melahirkan dan keguguran karena pihak managemen mempekerjakannya sebagai pemanen dan statusnya di sistem pun pemanen. Dia bekerja bersama sang suami dalam satu lokasi/ancak panen, namun hasil mereka di bagi dua untuk dia dan suaminya. Memang perlakuan perusahaan untuk hak yang lain di berikan seperti THR, didaftarkan di jamsostek ketenagakerjaan maupun kesehatan, namun sebagai seorang perempuan sudah pasti memiliki kapasitas tenaga yg berbeda, sementara kewajiban ibu ini pun tak ada bedanya seperti seorang pemanen yakni menyusun pelepah, memotong tangkai buah, mengutip brodol, mengeluarkan buah ke TPH,  bahkan kerjaan yang tak lazim pun kadang di lakukan, ketika sang suami kecapean menggerek buah maka isteri lah mengantikan. Model kerja seperti ini memang baru-baru saja dipraktikkan (sejak 2018 sampai sekarang), bahkan ada beberapa perusahaan yang mewajibkan seorang perempuan jadi pemanen agar bisa jadi karyawan tetap/SKU, karena mereka menganggap hanya pekerjaan panen saja yang dianggap pekerjaan inti di perkebunan sawit. Spraying atau semprot, pekerjaan ini juga salah satu pekerjaan yang berbahaya, karena bahan yang digunakan adalah bahan-bahan aktif fungisida yang dapat membakar kulit jika tidak cepat dibersihkan dengan cara mencuci bekas yg terkena bahan kimia tersebut. Bahan tersebut juga  dapat membutakan mata pekerja jika bahan ini sampai tumpah dan mengenai mata pekerja. Ini pernah terjadi pada salah seorang pekerja migran asal Belu, ketika dia membuka tutup gen/tangki racun yang dibawanya dan kemudiaan racun tersebut terpercik ke mata pekerja itu dan pekerja mengalami kebutaan permanen di salah satu matanya. Tak ada jalan lain walau pekerjaan penuh resiko tinggi para pekerja perempuan tetap mengerjakannya untuk mendapatkan upah/gaji demi pemenuhan kebutuhan dan tuntutan hidup lainnya.disamping penghasilan sang suami sebagai pemanen. Pekerjaan ini pun di bayar mengunakan satuan hasil yakni hektar, harga per hektar nya disesuaikan dengan jenis apa yang akan disemprot, seperti semprot piringan, anak kayu dan lain sebagai nya. Tidak heran jika mereka sering tidak bisa mendapatkan upah 1 HK ketika ada beberapa masalah di lapangan seperti, hujan ketika mereka berada sudah di lapangan, alat kerja (kepp) rusak dan sebagainya. Lalu apakah pekerja-pekerja perempuaan ini diam ketika hak-hak mereka tidak terpenuhi atau upah mereka tak sesuai dengan ketentuan? Yang pasti tidak, dari upaya negoisasi di lapangan sampai aksi dalam menuntut hak-hak mereka, namun masih saja hak-hak mereka masih banyak yg dipangkas dan bahkan hak-hak normatif juga gak mereka dapatkan. Mungkin ini cerita buruk bagi kaum buruh perempuaan perkebunan, niat dan segala upaya pun tak terdengar, apalagi ketika perusahaan perkebunan itu bernaung di bawah grup besar maka ketika ada tuntutan dan negoisasi dari para buruh maka makin kuat intimidasi bahkan sampai pemutusan hubungan kerja mereka lakukan. Hak-hak normatif seperti cuti haid dan melahirkan serta keguguran pun rentan, bahkan ada beberapa perkebunan yang memang tidak memberikannya pada buruh perempuan karena dianggap mengganggu aktivitas dan produktivitas perusahaan. Jika pun mereka dapatkan mereka harus melewati serangkaian proses yang sangat tidak lazim dan melanggar etika. Seperti cuti haid, ketika seorang pekerja perempuan ingin mengambil cuti haid mereka harus di cek dan memberikan bukti berupa darah haid di klinik prusahaan, dan mereka harus mengikuti prosedur untuk tetap di klinik sampai 7 jam kerja barulah mereka mendapatkan hak cuti nya, sementara di hari kedua jika memang tidak merasakan sakit walau masih dalam keadaan haid maka si pekerja tetap wajib bekerja, Inilah faktor yang menyebabkan hilang cuti haid karena para buruh perempuan enggan mengambilnya dikarenakan prosedur yang tak lazim dan selalu dipersulit, padahal itu hak normatif mereka. Dengan cerita pendek dan hanya beberapa bagian aplikasi pekerjaan buruh perempuaan ini dapat disimpulkan bahwa :
  1. Penghilangan hak atas cuti haid, melahirkan dan keguguran. Karena hak-hak normatif ini telah di atur dalam aturan ketenagakerjaan maka kami menganggap bahwa perusahaan nakal seperti ini telah melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum buruh perempuan di perkebunan
  1. Upah minimum yang selalu terpangkas, dengan dibuktikannya banyak pekerja perempuan yang menerima gaji/upah masih jauh di bawah ketentuan, sementara perlakuan kerja mereka hampir sama seperti pekerja laki-laki.
  2. Waktu kerja panjang dibuktikan walau mereka kerja melebihi 7 jam kerja namun belum mendapatkan harian kerja dan tidak mendapatkan over time atau lembur.
  3. Pelayanan kesehatan yang kurang baik, sehingga masih banyak pekerja perempuan yang mengalami keguguran.
  4. Buruknya perlindungan atas pengunaan bahan-bahan kimia berbahaya, seperti kurangnya sosialisasi dan pelatihan juga alat pelindung diri bagi pekerj
  5. Kurang layaknya fasilitas umum seperti air bersih, perumhan, penerangan, antar jemput pekerja, antar jemput anak-anak pekerja serta fasilitas kesehatan di wilayah kebun.
  6. Pembrangusan hak atas berpendapat, berorganisasi dan mogok kerja, terbukti dengan adanya intimidasi kepada buruh yang bernegoisasi atau mengikuti mogok kerja, memutasi tanpa ada job dan kesalahan serta mendemosi ke bagian yang bukan tempat dan skill si pekerja.
Harapan nya: Kepada pemerintah.
  1. Mencabut atau mengubah aturan yang nyata-nyata 2 merugikan kaum buruh yakni sistem pengupahan mengunakan satuan hasil/borongan/piece rate menjadi satuan waktu ( harian kerja).
  2. Memperkuat kapasitas pengawas ketenagakerjaan dalam penegakan hukum bagi perusahaan-perusahaan nakal yang melanggar aturan
Kepada perusahaan.
  1. Mematuhi dan tunduk pada aturan ketenagakerjaan serta tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia serta memberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat serta tidak ada intimidasi serta kriminalisasi kepada buruh yang menuntut hak-hak
  2. Membuka ruang kepada buruh untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang dikeluarkan pe
  3. Memberikan hak cuti haid, keguguran serta melahirkan tanpa prosedur yang sulit dan tidak etik.
  4. Memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya serta perlakuaan baik terhadap pekerja yang terdampak bahan kimia berbahaya.
  5. Memberikan upah/gaji sesuai pekerjaan yang dikerjakan tanpa adanya pemangkasan /pengurangan upah serta memberikan top up kepada buruh yang telah bekerja sesuai aturan ketenaga kerjaan tanpa adanya diskriminasi upah.
Kepada RSPO.
  1. Memastikan prinsip dan kreteria RSPO dijalankan sepenuhnya secara transaparan oleh perusahaan agar hak-hak buruh tetap didapatkan dan terlindungi.
Kepada kawan2 di nasional.
  1. Dapat memberikan pelatihan gender kepada kaum buruh perempuaan juga pelatihan paralegal. Kami berharap bukan hanya kaum laki-laki saja yang dapat menjadi ketua serikat dan paham aturan serta hukum namun juga dari kaum buruh perempuan juga akan hadir sebagai tonggak perlawanan atas perampasan hak-hak kaum buruh.
  2. Dapat membantu memberikan solusi-solusi dalam hal isu-isu terbaru yang terjadi di perkebunan sawit melalui diskusi maupun hubungan telepon dan WA.
Sarana , 5 Desember 2020. Sekretaris SEPASI KALTENG    == DIANTO ARIFIN ==                                                      

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *