Telp.+6251-8352171
info@sawitwatch.or.id
‘Menjelang Magrib-nya’ Inpres Moratorium Sawit, Adakah Hari Esok-nya?: Tantangan dan Harapan Pelaksanaan Kebijakan Inpres Moratorium Sawit di Penghujung Usianya
Home » Sawit’s Update | Our Forus  »  ‘Menjelang Magrib-nya’ Inpres Moratorium Sawit, Adakah Hari Esok-nya?: Tantangan dan Harapan Pelaksanaan Kebijakan Inpres Moratorium Sawit di Penghujung Usianya
‘Menjelang Magrib-nya’ Inpres Moratorium Sawit, Adakah Hari Esok-nya?: Tantangan dan Harapan Pelaksanaan Kebijakan Inpres Moratorium Sawit di Penghujung Usianya
Achmad Surambo dan Hadi Saputra- Sawit Watch Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini telah mencapai 22,3 juta hektare (Sawit Watch, 2020) dengan 30% diantaranya dimiliki oleh petani. Rentang Januari-Oktober 2020 lalu, Indonesia mampu meraih nilai ekspor CPO yang mencapai US$ 15,95 milyar atau sekitar Rp. 225,37 triliun (Kemendag, 2020). [1] Industri perkebunan sawit memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional. Walau dianggap kontributif, perkebunan sawit diketahui mengakibatkan banyak persoalan di lapangan, mulai dari kerusakan lingkungan, konflik agraria, kondisi buruh yang terabaikan, hingga ancaman ketersediaan pangan. Sawit Watch (2020) juga mencatat bahwa terdapat 1061 komunitas yang berkonflik dengan perkebunan sawit skala besar. September 2021 menjadi batas terakhir pelaksanaan kebijakan Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau yang seringkali disebut inpres moratorium sawit. Sayangnya selama hampir 3 tahun pasca diterbitkan, kebijakan ini dinilai minim capaian. Beberapa hal seperti penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan dan peningkatan produktifitas yang menjadi fokus utama untuk diselesaikan dalam kebijakan ini masih belum terlihat progresnya. Terdapat beberapa hal yang menjadi kendala dalam proses implementasi kebijakan ini, misalnya terkait dengan proses sosialisasinya. Kami melihat bahwa kebijakan ini minim sosialisasi, dari beberapa daerah yang kami kunjungi masih ditemukannya beberapa jajaran pemerintah daerah baik itu di tingkat Provinsi ataupun Kota/Kabupaten yang masih belum mengetahui kebijakan ini. Padahal tahapan sosialisasi menjadi langkah paling awal sebelum bergerak ke hal yang lebih jauh. Hal ini menunjukkan bahwa produk regulasi yang dihasilkan tidak disertai dengan proses sosialisasi yang baik. Di usia kebijakan yang sangat singkat pemerintah harusnya lebih serius dalam menyiapkan langkah-langkah dalam menjalankan amanat dalam inpres ini salah satunya dengan membuat peta jalan (road map). Dengan adanya peta jalan ini diharapkan dapat menjadi panduan umum bagi pihak-pihak termandatkan untuk meraih apa yang sudah diamanakan dalam inpres. Dukungan dokumen panduan teknis dan pelaksana juga sangat dibutuhkan pemerintah daerah, kepala daerah dan jajaran pemkab yang progresif meresepon kebijakan ini harus terkendala karena tidak memiliki acuan yang bisa dirujuk. Pola atau sistem kerja yang diterapkan juga perlu mendapat sorotan. Kebijakan inpres memandatkan proses pengumpulan data dan pemetaan kebun dilakukan ditingkat lapang oleh bupati/walikota yang kemudian dilaporkan ke Gubernur dengan tembusan pemerintah pusat. Namun faktanya pemerintah pusat dalam hal ini tim kerja nasional yang beranggotakan lintas kementerian dan dikomandani oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berfokus pada konsolidasi data dan menyelesaikan luasan tutupan perkebunan sawit di Indonesia. Hasilnya menyatakan bahwa luasan tutupan perkebunan sawit saat ini berjumlah 16.38 jt ha, ini tertuang dalam Kepmentan No. 833/KPTS/SR.020/M/12/2019. Pola kerja seperti ini tidak sesuai dengan yang dimandatkan dalam inpres, sehingga ini menyebabkan kerja antara pemerintah pusat dan daerah menjadi tidak tersinkronisasi dengan baik, yang mengakibatkan minimnya capaian yang diamanahkan dalam inpres. Kehadiran Inpres Moratorium Sawit dinilai “satu tarikan nafas” dengan beberapa kebijakan lainnya, seperti misalnya Perpres Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan, dan Perpres Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Sehingga jika kerja-kerja kebijakan ini dapat tersinkronisasi baik di tingkat lapangan maupun dilevel pemerintah pusat dan daerah, maka akan sangat efektif. Sehingga cita-cita untuk mewujudkan tata kelola sawit yang baik, berkelanjutan dan bertanggungjawab dapat segera tercapai. Namun sayangnya hingga menjelang berakhirnya inpres moratorium sawit, kami belum melihat peluang ini diamanfaatkan dengan baik. Disahkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah membuat agenda perbaikan tata kelola sawit Indonesia menjadi runyam. Secara tiba-tiba UU Cipta Kerja hadir dan menerobos proses perbaikan yang sedang berjalan. UU Cipta Kerja mengatur perkebunan sawit dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta hektar dengan menawarkan model penyelesaian 'berbau' pemutihan. Model penyelesaian gaya UU Cipta Kerja ini memendam potensi untuk penyelesaian, ada potensi perizinan untuk diabaikan, proses berjalan tidak transparan serta dikhawatirkan akan berujung pada kerugian publik dan keuntungan segelintir kelompok saja serta dugaan korupsi seperti diabaikan. Proses pembentukan UU Cipta Kerja juga dinilai tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Indikator yang menunjukkan bahwa ini salah prosedur diantaranya tanpa adanya naskah akademik, tanpa partisipasi publik, beberapa pasal tidak jelas rumusannya, ketidakpastian naskah RUU, adanya perubahan setelah disahkan hingga sistem Omnibus Law yang tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.[2] Sawit Watch bersama dengan Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) melalui tim kuasa hukum telah mengajukan gugatan uji formil UU Cipta Kerja kepada Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 107/PUU-XVIII/2020. Proses persidangan di MK telah melewati pemeriksaan pendahuluan dan perbaikan permohonan dan dalam waktu dekat akan memasuki masa sidang pleno. UU Cipta Kerja secara substansi berpotensi menghambat penyediaan Tanah Objek Reforma Agraria dengan mengubah ketentuan kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar perkebunan, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta mereduksi perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh serta bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan pangan dengan mempermudah impor pangan, tidak membatasi penanaman modal asing di pertanian hortikultura, dan mempermudah alih fungsi lahan pertanian. Sejumlah kebijakan yang juga terpengaruh implementasinya akibat hadirnya UU ini, salah satunya inpres moratorium sawit. Disahkannya UU Cipta Kerja akan berdampak adanya potensi penguasaan lahan yang lebih besar. Sementara inpres moratorium sawit hadir untuk menekan perluasan atau ekspansi perkebunan sawit khususnya di kawasan hutan. Jadi dengan adanya UU Cipta Kerja, inpres moratorium sawit akan menjadi terhambat, karena disatu sisi pemerintah membuka peluang investasi yang besar melalui UU Cipta Kerja. Selain itu, beberapa pasal dapat memicu kerusakan ekologis dan konflik sosial seperti misalnya soal dihapuskannya persentase minimal penguasaan lahan dan ketidakjelasan terkait bank tanah. Turut membuat permasalahan ini semakin nyata bukan memberikan solusi. Di sisi lain, persoalan seperti sawit di dalam kawasan hutan dan produktifitas sawit yang rendah masih menjadi persoalan yang perlu diselesaikan. Sejumlah pemerintah daerah yang memberikan respon positif terhadap inpres ini juga perlu untuk di fasilitasi dengan sejumlah dukungan. Agar antara pemerintah daerah dan pusat dapat lebih tersinkronisasi dalam kerja-kerjanya. Sehingga kami sangat mendorong kebijakan ini diperpanjang dengan catatan harus memiliki capaian yang lebih jelas, terukur dan proses yang transparan. Jika saja kebijakan moratorium sawit berhenti disini, maka dikhawatir akan menjadi peluang dibukanya “pintu kran” investasi sawit di Indonesia. Kami menilai inpres ini patut untuk diperpanjang karena masih dinilai relevan dengan kondisi perkebunan sawit di Indonesia saat ini. Seperti yang kita ketahui luas perkebunan sawit tidak berbanding lurus dengan produktifitasnya, artinya walau perkebunan sawit Indonesia cukup luas angka produktifitas kebun yang masih tergolong rendah. Sehingga moratorium sawit masih menjadi jalan yang tepat untuk menghentikan sementara pemberian izin baru dan berfokus pada proses pengembangan atau intensifikasi kebun yang sudah ada. Di tingkat internasional, kebijakan inpres moratorium sawit juga mendapatkan respon positif dari pasar global. Seperti kita ketahui bahwa permintaan akan minyak sawit yang berkelanjutan menunjukkan tren yang terus meningkat. Inpres moratorium sawit menjadi jawaban bagi pemerintah Indonesia atas tuntutan tersebut. Upaya perbaikan tata kelola sawit menjadi kunci diterimanya produk CPO Indonesia dan salah satu alat kebijakannya adalah inpres moratorium sawit. Tumpang tindih perizinan menjadi salah satu persoalan terbesar dalam sistem tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Tumpang tindih lahan masih terjadi baik dengan konsesi lain maupun kawasan hutan. Padahal, kejelasan lahan yang tidak tumpang tindih (clean and clear) merupakan syarat penting untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mengatasi konflik agraria. Moratorium sawit dapat dijadikan langkah konkret untuk mengurai permasalahan tersebut.[3] Hingga saat ini belum ada informasi berkenaan dengan apakah inpres moratorium sawit akan diperpanjang atau tidak. Terlepas dari berbagai kekurangan dan catatan kritis terhadap implementasinya, terselip harapan bahwa Inpres Moratorium Sawit patut untuk diperpanjang dengan catatan-catatan perbaikan proses implementasinya kedepan. Karena perkebunan sawit di Indonesia masih diwarnai dengan sejumlah persoalan yang belum dapat diselesaikan. ###
  1. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201217150850-92-583463/nilai-ekspor-minyak-sawit-naik-di-tengah-pandemi-corona
  2. Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL), 2021, Tiada Demokrasi Tanpa Prosedur Demokratik “Salah Prosedur dan Salah Atur Omnibus Law Cipta Kerja” dapat diakses pada https://tinyurl.com/UnduhBuku2
  3. Koalisi Moratorium Sawit, 2021, Kertas Kebijakan “Urgensi Perpanjangan Moratorium Sawit Untuk Mempercepat Perbaikan Tata Kelola Sawit Indonesia”.
 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *