Telp.+6251-8352171
info@sawitwatch.or.id
Lokalatih Studi Tenurial Sumberdaya Ekosistem Gambut Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten OKI Sumsel
Home » Sawit’s Update | Our Forus  »  Lokalatih Studi Tenurial Sumberdaya Ekosistem Gambut Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten OKI Sumsel
Lokalatih Studi Tenurial Sumberdaya Ekosistem Gambut Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten OKI Sumsel
Sejak dibikin kanal itu, sumur gali banyak terganggu. Panas 2 atau 3 bulan sudah kering. Sebelumnya tak pernah kering”, ujar salah seorang peserta pelatihan studi tenurial ekosistem gambut yang dilakukan Sawit Watch di desa Toman, 7 April 2016 lalu. Mewakili masyarakat, ia menyampaikan agar dibuat tebat, sehingga masyarakat bisa mengambil manfaat. Sawit Watch bekerjasama dengan Serikat Hijau Indonesia (SHI) melakukan studi tenurial sumberdaya ekosistem gambut di 6 desa di kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan di desa Perigi, Toman, Tulung Seluang, Cinta Jaya, Menang Raya dan Pulau Geronggang. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan wilayah ekosistem gambut di wilayah yang tahun 2015 lalu mengalami kebakaran hebat dan sebagian besar titik api berada di kawasan hidrologis gambut. D:\SW\Program\TAF\TAF II\Sumsel\Lokalatih Tenurial\Foto\IMG_20160408_134532.jpg Di kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), terdapat sedikitnya 29 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luasan sekitar 127.425 Ha. Dari 29 perusahaan tersebut, sekitar 14 perusahaan yang beroperasi di ekosistem gambut dengan luasan sekitar 48.592 Ha (Sawit Watch, 2015). Terkait dengan perlindungan ekosistem gambut, sudah ada PP No 71 tahun 2014, namun dari sisi sosial peraturan tersebut masih kurang optimal memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap model pengelolaan wilayah ekosistem gambut yang telah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat lokal. Sawit Watch memandang PP 71 Tahun 2014 tersebut akan lebih efektif dan implementatif jika diturunkan menjadi peraturan desa dan atau peraturan daerah. Peraturan desa atau peraturan daerah tersebut harus mengakomodasi model pengelolaan ekosistem gambut secara tradisional dimana wilayah ekosistem gambut tetap terjaga dan disisi lain pendapatan masyarakat lokal dapat bersumber dari wilayah ekosistem gambut itu sendiri. Lokalatih di desa Perigi “Selama ini Perigi membakar gambut, sistem sonor, dari awal begitu. Kita mencoba menghilangkan cara bakar, kita ajukan cetak sawah, ujar Pak Edi, peserta pelatihan di desa Perigi. Menurut pak Edi, desa Perigi sudah mengajukan permintaan pencetakan sawah kepada pemerintah kabupaten. “Kita waktu itu menolak masuk perusahaan. Pemerintah menetapkan kawasan Suaka Margasatwa pada tahun 2001, padahal masyarakat sini sudah mengelola kawasan itu sejak 1960, makanya penting peta sumber daya desa ini”, kata pak Edi menambahkan. D:\SW\Program\TAF\TAF II\Sumsel\Lokalatih Tenurial\Foto\IMG_20160408_214832.jpg Kusnadi Wirasaputra, fasilitator dalam kegiatan lokalatih ini menyampaikan model pengelolaan gambut secara tradisional yang selama ini dipraktekkan masyarakat tidak akan dihilangkan, malah perlu didukung oleh pemerintah dengan infrastruktur. “Kita sudah membuat peta sumber daya desa, kita akan kirim peta ini ke BRG (Badan Restorasi Gambut), masyarakat bertani dengan sistem sonor, ini tidak akan dihilangkan, tapi perlu diatur”, demikian kata Kusnadi. Kelompok Ibu di desa Toman mendiskusikan jenis tanaman yang tumbuh di kawasan desa. D:\SW\Program\TAF\TAF II\Sumsel\Lokalatih Tenurial\Foto\IMG_20160409_154334.jpg Pak Dani, peserta lokalatih dari desa Tulung Seluang mengusulkan agar lahan gambut yang ada di desa merea dimanfaatkan. “Kalau usul saya pribadi bikin pertanian tadah hujan, jadi cetak sawah. Manfaatnya bisa untuk warga dan juga untuk mengurangi kebakaran lahan. Untuk pengelolaan gambut, kami harapkan semua warga dapat bagian”, kata Pak Dani. Diskusi kelompok menggambar peta desa di desa Tulung Seluang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *