Sebagai wilayah tempat pertama kali perkebunan sawit dikembangkan, luas perkebunan sawit di Sumatera Utara termasuk 4 provinsi yang perkebunan sawit terluas. Tahun 2004, luas perkebunan sawit di wilayah ini mencapai lebih dari 844.000 hektar. Saat ini, luas perkebunan tersebut mencapai 1,2 juta hektar. Peningkatan luas ini terjadi karena konversi lahan-lahan pertanian pangan dan hutan. Konversi lahan-lahan pertanian pangan terjadi di daerah Langkat, Serdang Bedagai dan Labuhanbatu. Sementara itu, konversi hutan menjadi perkebunan sawit terjadi di wilayah Tapanuli bagian selatan.
Sebanyak ±100.000 ha lahan di Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara dan Padang Lawas telah dikonversi menjadi perkebunan sawit (sumber: data OPPUK, 2013). Terdapat ±60 perusahaan perkebunan yang tercatat melakukan usaha perkebunan di 4 kabupaten tersebut. Sebagian besar masyarakat di kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya alam yang ada di hutan tersebut misalnya mengambil madu, serta air nira yang di ambil dari pohon aren untuk diolah menjadi gula aren sebagai sumber pendapatan mereka.
Huta Raja merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Masyarakat desa tersebut masih banyak yang menggantungkan hidup mereka sebagai penghasil gula aren. Masyarakat Huta Raja menyebut mereka sebagai pengerajin gula aren. Selain sebagai pengerajin gula aren mereka adalah petani kopi dan tanaman lainnya. Pohon aren yang mereka kelola bisanya berada disekitar hutan, baik hutan yang berada dekat dengan desa maupun hutan yang berada di Sibual buali. Jarak pohon aren dari rumah atau pemukiman mereka biasanya berjauhan dan terkadang harus menempuh perjalanan selama 1-2 jam bahkan sampai lintas kecamatan. Selain mengolah air nira menjadi gula aren, pengerajin gula aren juga mengolah biji atau buah pohon areh menjadi kolang kaling.
Dalam proses pengolahan gula aren di Desa Huta Raja terdapat pembagian peran antara laki laki dan perempuan. Perempuan biasanya bertugas dalam proses pemasakan, pencetakan dan pemasaran sementara laki laki berperan dalam proses memanjat dan memotong bagian pohon aren tersebut agar menghasilkan air nira. Dalam proses pencetakan dan pemasakan laki-laki juga biasanya berperan tetapi tidak penuh dan saling bekerja sama dengan perempuan. Pembagian peran tersebut terjadi secara alami sejak dahulu dan sampai saat ini masih terus terjadi dan terjaga.
Dokumentasi : Diskusi Sawit Watch- OPPUK dengan Masyarakat Pengerajin Gula Aren di Desa Huta Raja Kecamatan Sipirok ,Kabupaten Tapanuli Selatan
Masyarakat pengerajin gula aren merasa hasil bekerja sebagai pengerajin gula aren sangat membantu. Pekerjaan ini tidak sepenuhnya menghabiskan waktu, karena terdapat pekerjaan pertanian lain seperti bersawah dan bercocok tanam yang lain. Pekerjaan sebagai pengerajin gula aren ini dapat menghasilkan 1-2 juta setiap bulannya.
Saat ini, para pengerajin gula aren resah karena larangan dari pemerintah untuk masuk ke wilayah hutan Sibual buali dan mulai membatasi akses masyarakat. Larangan ini menyulitkan masyarakat untuk mengumpulkan kayu yang diperlukan untuk membakar gula. Hal lain, tanaman aren yang sudah lama mereka kelola secara turun temurun, banyak yang berada di hutan Sibual buali tersebut. Masyarakat mengharapkan pemerintah kabupaten tidak melarang masyarakat memasuki hutan dan mengambil kayu. “Kami bukan mau ngambil kayu yang besar-besar kayak perusahaan itu. Cukup untuk membakar gula aja. Kami ingin hutan itu tetap ada, kalau hutan tak ada, maka binatang dari hutan itu pasti turun dan itu mengganggu aktivitas kami”, ujar salah seorang warga.
Hal lain yang meresahkan adalah ini disekitar wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan sudah terdapat beberapa perusahaan perkebunan sawit dan kawasan perkebunan ini paling banyak berada di wilayah yang berbatasan dengan Labuhanbatu. Perkebunan sawit tersebut terletak di dataran tinggi Kabupaten Mandaling Natal dan Tapanuli Selatan
Para pemilik modal tersebut sangat berpotensi memperluas usahanya dan memanfaatkan kekayaan alam di wilayah tersebut secara serakah dan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar. Masyarakat bisa kehilangan tanah dan hutannya jika tidak mempertahankan tanah mereka dengan baik demi kelangsungan hidup anak dan cucu mereka.