Gambar 1. Konsesi sawit yang Mengelilingi Hutan Adat Imbo Putui
Hutan larangan adat Imbo Putui merupakan hutan adat pertama di Riau yang mendapatkan pengakuan dari negara. Hutan adat Imbo Putui terletak di desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, dan menjadi tempat bermukimnya Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan (masyarakat adat yang masih kental dengan budaya dan adat-istiadatnya). Masyarakat Kenegerian Petapahan tidak dapat dipisahkan dari hutan adat Imbo Putui. Hutan adat Imbo Putui dan ekosistem sungai di dalamnya merupakan jantung dari kebudayaan Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan. Namun sayangnya, Hutan adat Imbo Putui kini dikepung oleh kebun sawit. Hutan adat yang merupakan wilayah demarkasi melalui kesepakatan manusia dan penghuni alam gaib, kini harus berjuang untuk tetap lestari.
Makna nama ‘Imbo Putui’ yang berarti ‘Rimbo Putus’ berasal dari kata “keputusan” atau “putusan”[ Dikutip dari Dokumen Rencana Pengelolaan Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan, oleh Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan]. Imbo Putui dimaknai sebagai hutan tempat orang memutuskan sesuatu baik dalam konteks kenegerian dan banyak juga raja-raja yang bertapa untuk memutuskan sesuatu. Wilayah Imbo Putui dahulu merupakan wilayah demarkasi, dan ada kesepakatan antara makhluk gaib dan manusia dalam pemanfaatan wilayah hutan. Hutan juga dihuni oleh makhluk selain manusia, sehingga Imbo Putui dijadikan sebagai tempat bertapa untuk memutuskan segala sesuatu yang penting.
Gambar 2. Gerbang masuk hutan adat Imbo Putui dan tegakan dalam hutan adat Imbo Putui
Kisah Hutan Adat Imbo Putui tak bisa dipisahkan dari legenda terbentuknya Desa Petapahan. Menurut cerita dari para orang tua, nama Petapahan berasal dari dua penafsiran yang berlainan, yaitu (1) Petapahan berasal dari kata "pertapaan" dengan arti tempat orang bertapa, karena tempat ini dahulu dijadikan tempat bertapa orang dari Muara Takus, dan (2) Petapahan dengan arti tempat ikan 'tapah" selalu ada, karena sungai ini dahulu tempat ikan tapah menetaskan telurnya, terkenal dengan masyarakat Tapung dengan sebutan "ikan main". Ikan tapah adalah sejenis ikan sungai yang terbesar bahkan paling besar beratnya mencapai 100 Kg per ekornya dan kebanyakan antara 7-20 kg per ekornya.[ Dikutip dari Dokumen Rencana Pengelolaan Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan, oleh Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan.]
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Petapahan dan hutan adat Imbo Putui memiliki sejarah panjang. Petapahan merupakan salah satu desa tertua di antara desa lainnya, sebagai permukiman tua, tidak seorangpun yang mengetahui persis bulan dan tahun desa ini mulai berdiri. Konon kabarnya desa ini telah berdiri jauh sebelum zaman Sriwijaya atau berdekatan dengan pembangunan candi Muara Takus[ Dikutip dari Profil Hutan Larangan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan dalam Dokumen Permohonan Penetapan Wilayah, Masyarakat, dan Hutan Adat, oleh Lembaga Adat Kenegerian Petapahan].
Saat ini, hutan adat Imbo Putui di sebelah barat, utara, dan selatan berbatasan dengan kebun sawit PT. Ramajaya Pramukti, sebelah timurnya berbatasan dengan ladang masyarakat dan tanah kavling Desa Petapahan.
Gambar 3. Wilayah Hutan Adat Imbo Putui dikelilingi Konsesi Sawit PT. Ramajaya Pramukti
Luasan 251 hektar hutan adat sebagaimana diakui dalam SK Kementerian LHK nomor : SK.7503/MENLHK-PSKL/PKTHA/ KUM.1/9/2019 tanggal 17 September 2019 merupakan luasan hutan yang tersisa dari sekitar 58.667,7 Ha (luasan hasil dari eksplorasi cepat pemerintah desa dan tokoh adat yang paham dengan ulayat adat di kenegerian petapahan). Luas 58.667 hektar ini merupakan ulayat adat Kenegerian Petapahan yang berbatasan dengan pantai cermin, batu gajah, dan kenegerian-kenegerian lain. Pengurangan luasan hutan adat Imbo Putui terjadi secara berangsur-angsur, mulai dari kehadiran HPH hingga kebun sawit. Aktivitas pembalakan liar sempat masif terjadi pada masa peralihan izin HPH menjadi sawit. Karena khawatir Imbo Putui hanya tinggal nama, para pihak adat dan segenap anak kemenakan kembali menetapkan aturan adat ketat untuk menghentikan kegiatan pembalakan liar.
Sisa hutan seluas 251 hektar dan ekosistem sungai di dalamnya kini terancam kelestariannya. Keberadaan kebun sawit yang mengelilingi hutan adat menyebabkan pencemaran sungai yang berat. Ikan-ikan tapah yang wajib tersedia dalam kegiatan adat kini semakin sulit dicari. Sebabnya yaitu, penggunaan pupuk dan pestisida yang masif, pelurusan sungai untuk kepentingan perusahaan, dan penanaman sawit di bantaran, bahkan hingga ke tengah sungai. Akibat keberadaan kebun sawit, masyarakat yang dahulu menempatkan sungai sebagai sumber kehidupan dan budaya sekarang justru ‘membelakangi’ sungai. Budaya gotong royong, musyawarah, dan ukuran teologis masyarakat kini menjadi perseorangan dan materialis. Keberadaan kebun sawit telah merusak lingkungan hutan adat dan ekosistem sungai, tatanan sosial, hingga menyebabkan kerentanan ekonomi jangka panjang masyarakat. Masyarakat yang dulu hidup dengan meramu dan memiliki ragam sumber pendapatan kini juga bergantung hanya pada sawit. Tidak ada yang bisa menjamin sawit yang menjadi satu-satunya sumber ekonomi akan bertahan sampai kapan.